Pemilu 2024: Insights

Pemilu 2024: Insights

Setelah kurleb melewati gejolak perpolitikan setahun terakhir, setidaknya ada beberapa insight yang ingin saya share terkait pemilu 2024:

1. setiap kita punya identitas majemuk

melihat bagaimana isu politik identitas menjadi “gorengan” empuk yang selalu disajikan dalam tiap pemilu, membuat saya berfikir, apa iya cuma paslon 01 yang demikian?

sebenarnya tanpa sadar 02 dan 03 pun melakukan demikian. Bedanya, kalau 01 dikaitkan dengan pemilih muslim, sedangkan non-muslim atau yang digolongkan sebagai mioritas lainnya lazim diasumsikan akan memilih 02 dan 03.

Ada kawan yang celetuk, rakyat indonesia itu masih rasis, sulit lah milih 01. Lho? Kenapa? Iya, kan Pak ABW ini keturunaan Arab. Bukan orang keturunan Jawa.

Ah iya, saya baru nyadar. Jadi sebenarnya Pak ABW ini juga mewakili kaum minoritas lho, bukan hanya tionghoa saja yang dianggap minoritas toh? Saya cukup amaze dan tersadar ketika beliau bisa boso jowo, oh iya, beliau kan tumbuh besar di Jogja.

Dari segi ideologi, bagi golongan ekstrem kanan, pak ABW ini bisa dibilang agak liberal karena lama tinggal di US, pernah menjadi rektor kampus yang dikenal cukup liberal. Meskipun kalau dilihat dari kebijakannya selama menjabat Gubernur, kental juga dengan tema2 sosialis. Sedangkan, bagi golongan liberal, karena (mungkin) statusnya sebagai keturunan Arab, dikelilingi tokoh2 Muslim yang dikenal “radikal”, jadi seolah2 beliau ini “terlalu Islam”, fear mongering.

Dari situ terlihat bahwa setiap orang punya identitas yang majemuk dan spektrum kepribadian yang luas. Pilihan akan satu calon tertentu menunjukkan bahwa ada irisan spektrum dan value antara kita dengan calon tersebut. Ini juga setidaknya bagi saya memberi penjelasan, “kok bisa siih, dia milih yang itu?”, karena bisa jadi ada irisan spektrum yang belum saya fahami terjadi di antara mereka.

2. Common sense.

Gelombang rakyat yang menginginkan perubahan menunjukkan bahwa masih ada common sense yang dimiliki negeri ini. Bahwa politik (dalam hal ini pemilu) adalah medium yang netral. Mungkin ia sudah terlalu lama dikenal sebagai tempat yang kotor, tapi bukan berarti orang jujur dan baik tidak boleh berpartisipasi untuk bersuara.

Jika politik adalah permainan–sebagaimana dunia ini adalah permainan, bermainlah yang fair, milikilah rasa malu. Pilihlah yang bijak, gunakan akal sehat, jagalah terus nurani.

Common sense ini dimiliki ragam kalangan, bukan hanya golongan tertentu saja. Membuat saya terharu bahwa ternyata kita tidak sendirian. Tidak sendirian misuh-misuh, tidak takut pada celaan orang yang mencela. Hingga akhirnya semakin kuat dan yakin untuk terus berada pada jalan yang dipilih.

3. berharap, kecewa, berharap lagi.

Saya pernah menuliskan beberapa tokoh politik di blog pribadi saya. Bagaimana saya menaruh kekaguman karena integritas dan “konkret”nya beliau-beliau. Tapi bertahun-tahun setelahnya ada kabar tentang bagaimana salah satu di antaranya terlibat korupsi, atau bagaimana salah satunya terlibat politik yang “terkesan pragmatis”—setidaknya dalam kacamata saya.

Tidak sedikit pula tokoh maupun wargi yang secara terang2an menyatakan kekecewaannya bagi Pak Pres yang dipilih & didukung selama 2 periode terakhir. Tapi kemudian mereka memutuskan untuk kembali memilih (tidak golput) di pemilu periode ini.

Manusia dengan harapan-harapannya, adalah wajar jika kemudian ada kecewa. Tapi harapan itulah yang akhirnya membuat bertahan, untuk terus berjalan lagi dan melanjutkan hidup. Mencapai suatu target dan cita-cita lagi.

Terus meyakinkan diri bahwa “we’re all here for a reason”.

Bahwa kita ditakdirkan menjadi warga Wakanda, eh, Indonesia, tentu dengan sebuah alasan, dan semoga alasan tersebut adalah karena kita dianggap mampu memperbaiki kondisi yang sedang carut marut ini. Jadikan kehadiran kita menjadi alasan hadirnya kemakmuran di muka bumi, bukan malah sebaliknya.

Dengan segala keterbatasan kita sebagai manusia, menimbang dan menakar dari segala pemberitaan media, debat ke debat, isu yang ini dan itu, pada akhirnya pilihan kita tidak bisa full sempurna memuaskan, bahkan untuk diri kita sendiri.

Maka setelah menyempurnakan ikhtiar, memasrahkan kembali segalanya kepada Allah akan menjadi energi kita, agar tak kehabisan sumbu untuk menyalakan harap.

4. Yakin boleh, sombong jangan.

Manusia adalah kumpulan dari pilihan-pilihan yang ia ambil pada masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Ada pilihan yang diambil secara sukarela, ada yang terpaksa. Ada pilihan yang memberikan banyak manfaat positif dan kebahagiaan, ada yang melahirkan kerugiaan dan kesengsaraan.

Pilihan kita bisa jadi benar, bisa jadi salah. Oleh sebab itu, yakin dan optimis itu perlu dan harus. Tapi jangan sampai terlalu gelap mata, taklid buta hingga jatuh pada kesombongan. Toh, pada akhirnya pilihan kita masing-masing akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Kelegaan bukan hanya ketika pilihan kita menang dan membahagiakan, tapi ketika kita yakin bahwa ini adalah ikhitiar agar senantiasa berpihak pada kebenaran.

Al-haqqu min rabbik falaa takunanna minal mumtariin.

Sampai Juga

Sampai Juga

Ada beberapa tanggal dalam hidup yang kita nantikan.

Tgl kelahiran, tgl ujian, tgl pernikahan, tgl pengumuman penerimaan pekerjaan/beasiswa.

Kita menantikannya hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit.

Dalam rentang setahun terakhir kmrn, ada bbrp hal besar yang saya nantikan tiba waktunya: nikahan adik ketiga (putra ketujuh bapak) saya di awal tahun, kemudian seminar proposal tesis, sidang akhir tesis dan kelahiran anak ketiga. Beberapa hal tsb jd target yg dicanangkan di awal tahun 2023: semoga selesai studi s2 tepat waktu, lahiran lancar, selamat sehat, anak2 tumbuh dalam penjagaan dan semakin mencintai Qur’an, urusan suami dimudahkan.

Setelah akhirnya dilewati, saya menggumam lega, akhirnya sampai juga. akhirnya selesai juga.

untuk nikahan yusuf, seberapapun khwtrnya, bgmn nnt kiranya acara yg dipersiapkan dlm wkt singkat ini, lancarkah, dst? ketika akhirnya slsai dan kembali ke rumah, sampai juga.

untuk sempro dan sidang akhir, seberapapun deg2annya menghadapi kemungkinan2 pertanyaan—bisa jawab atau nggak, nilai akhirnya memuaskan atau nggak, akhirnya sampai juga.

untuk proses pendidikan azima, sekolahnya, (ujian dan tasmi’) Qur’an-nya, kempingnya—yg sy lewati di 38w, akhirnya sampai juga.

dan penantian yg paling mendebarkan adalah kelahiran baby Aiman.

Ia yang membersamai di tengah bundanya menggarap tesis: rasanya ingin menyerah nulis di tengah morning sickness, ikut njelimet olah hasil penelitian dg SPSS—yg sangat baru utk bundanya, pusing baca2 jurnal, ikut sidang akhir, ikut wara wiri ngurus berkas ke Salemba, nyetir ke Al-Azhar, ikut wisuda bundanya, ikut kemping kakaknya naik2 ke puncak bukit di Halimun Camp.. sederet ikut-ikut selanjutnya yg membuat saya berdebar, ini aman nggak ya? kalau ada apa2 bgmn? rasa kekhwatiran yg semakin meningkat seiring dekatnya HPL.

Apakah kelak sy bs mendidik dan membesarkan ketiganya dengan baik?

Hamil dan melahirkan adalah ujian keimanan tingkat tinggi, karena menanti sesuatu yang belum jelas kita melihatnya, kondisinya seperti apa di dalam perut, belum fiks kapan lahiran (hari ini apa besok? apa besoknya lagi?), apakah lancar nanti atau ada penyulit?

mendorong sy mengingat lagi,

اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنثَىٰ وَمَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ ۖ وَكُلُّ شَيْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ ‎

“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. (Ar-Ra’d: 8)

عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ ‎﴿٩

Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (Ar-Ra’d: 9)

Di situlah akhirnya semakin tenang, ya sudah terserah Allah saja. Ia yang paling tahu kapan waktu terbaik bayi ini dilahirkan.

Kemudian tak lama gelombang cinta aka kontraksi semakin kencang, dan sang bayi dilahirkan lima menit setelah adzan Shubuh berkumandang, sehari setelah Thufanul Aqsha dilancarkan. Maka kami namai ia Aiman Taslim Senjaya. Semoga senantiasa berada pada jalan yg benar (kanan), yang senantiasa berserah pada Allah.

Ketika akhirnya mendekapnya dalam pelukan, alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Lupakan segala kecemasan sejenak, yg penting ia lahir selamat.

Masih ada titik-titik kekhwatiran ke depan, sebagaimana begitu banyak cita-cita yang ingin kita impikan. Ada kesulitan yang sudah bisa kita antisipasi, ada yang datang tapi sebenarnya tak dinanti. Di atas itu semua, semoga Allah kuatkan dan sampaikan.

Sebagaimana kita terus berjalan dan setia menunggu-nunggu,

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا ‎﴿٢٣﴾

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya). (Al-Ahzab: 23)

the best defense

the best defense

Jagad sosmed lagi ramai tentang anti-aging natural adalah child-free.

Kalau dibilang nggak usah ikut membesar-besarkan isu, agak sulit juga karena distribusi pemikiran model begini di tengah rev industri 4.0 (opo tho), begitu mudah terserap dan terduplikasi ke generasi muda. Meskipun ya saya belum tahu berapa persen netizen Indo usia di 17-30an yang setuju dengan pendapat mbak tersebut, dan punya efek amplifier pada generasi muda secara keseluruhan.

Tapi kali ini, saya nggak terlalu tertarik membahas argumentasi bener nggak sih punya anak itu bikin cepet tua? Kalau mau bahas riset atau penelitian, bisa dicarilah yang mendukung pendapat masing-masing. Atau mau dilihat kenyataan sekitar, juga banyak contoh yang sudah punya cucu atau usia kepala lima, tapi wajah masih bak kepala dua atau tiga.

Saya lebih tertarik mengamati, kenapa sih mbaknya seneng banget ngegas dan ngoyo sama pendapat-pendapatnya yang kontraversial tersebut?

Trus saya (ceritanya baru mulai mau) mengerjakan lagi artikel ilmiah dan tesis, kemudian rasanya relate dengan pertanyaan saya sendiri di atas. Di tengah kegalauan mau ngerjain yang mana dulu di tengah waktu yang mepet (eh kok malah sempet2nya ngikutin berita itu wkwk), saya akhirnya memutuskan untuk mengetik seutas pemikiran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sendiri.

Tema artikel yang tengah saya garap adalah tentang pemikiran Abu Zayd al-Balkhi dan konsep Cognitive Behavior Therapy.

Ketika dikaitkan dengan tema-tema kontraversial yang hangat dibicarakan, saya mulai dari pertanyaan, kenapa itu menjadi satu hal yang kontraversial?

Jika menjawab dari aspek sosiologis, karena melawan norma sosial yang berlaku: perempuan menikah, punya anak, hidup bahagia dengan anak dan suami, peran utamanya adalah domestik. sementara di sisi sebelah sana, perempuan tidak harus menikah, perempuan independen memiliki penghasilan sendiri, perempuan tidak harus punya anak–bahkan karena ada kesan menutup diri dari pendapat orang lain, seakan berbicara, “perempuan nggak usah punya anak karena merepotkan, membuat tua, habis duit, dst”

Jika menjawab dari aspek agama, karena melawan fitrah manusia itu sendiri: berpasangan dengan lawan jenis, berketurunan, keseimbangan peran laki-laki dan perempuan.

Dalam pendekatan CBT, psikopatologi lahir karena adanya abnormalitas dalam proses kognitif yang melahirkan adanya distorsi kognitif (distorsi pengetahuan) dan kesalahan berfikir. Menurut Stallard dalam Fauzie (2016) setidaknya terdapat beberapa kesalahan berfikir, di antaranya selalu berfokus pada hal-hal negatif dan mengabaikan hal positif, sering membesar-besarkan masalah, sering berfikir dan memperkirakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, menyalahkan diri sendiri atau orang lain.

*Disclaimer: Saya nggak menggolongkan apakah ketika punya “bravery yang dianggap logis” seperti itu lantas kemudian ada psikopatologi. No. Poinnya adalah, ketika berulangkali ybs mengangkat isu dengan kecenderungan generalisir dan celetukan2 yang.. mohon maaf, menyakitkan banyak pihak dan menunjukkan adanya distorsi kognitif.

Dari mana sesuatu dianggap abnormal? atau kenapa sesuatu dianggap melenceng? ya, karena ada garis lurus yang menjadi batas acuan: norma agama dan norma sosial. Dalam tingkat yang lebih lanjut norma hukum.

norma sosial bisa bergeser, bisa diobrak-obrik, bisa dibentuk sesuai dengan pemikiran siapa yang tengah dominan. sedangkan norma agama, tidak. ia menjadi penjaga fitrah manusia dan selayaknya paramater apakah sebuah norma sosial masih sesuai diterapkan atau tidak.

ketika misalnya, ada yang berpandangan nggak usah punya anak dengan sebuah kesadaran pribadi, bukan karena kondisi fisik yang memang tidak memungkinkan, atau bukan karena belum siap secara mental (sambil terus menyiapkan dan menyembuhkan diri tentunya), berarti bisa jadi ada distorsi kognitif yang dialami sehingga ia melawan sesuatu yang secara fitrah merupakan pemberian Allah.

Kenapa bisa terjadi distorsi kognitif? Banyak variabel. Bisa jadi trauma pengalaman masa lalu, pengaruh lingkungan, dll.

Sudahlah tak usah berargumen itu kan pendapat pribadi, nggak usah pusing, hormati sajalah. Ketika memutuskan mengetik ke luar, di luar diary pribadi yang kita simpan di pojok laci dan sangat privasi, maka ia akan menjadi konsumsi publik. Maka ia seperti mempersilakan orang lain masuk ke rumah, dan membiarkan mereka berpendapat, rumah kita bersihkah, rapihkah, model meja dan cat bagusnya inilah itulah. 😀

Dari situ, saya yang pengamat dari jauh ini hanya bisa berdoa, semoga dalam perjalanan dialektika mbak-mbaknya ini dapat bertemu dengan titik teduh yang tak perlu membuat gaduh. Kembali dengan jiwa yang tenang menghadap Allah. Sebagaimana proses pencarian kita semua, saya dan anda yang membaca tulisan ini, mencari ketenangan di dunia yang bergejolak, yang riuh dan bising, terombang-ambing di tengah tarikan atau luka masa lalu, tekanan masa kini, serta keinginan untuk terus mendaki, naik ke atas, menuju-Nya.

Seperti kata Bang Akmal Sjafril, di dunia ini manusia tidak digolongkan menjadi manusia yang akan mati dan tidak pernah mati. Tapi yang menerima kenyataan atau tidak. Ketika kita menerima kenyataan bahwa kita akan mati, menghadap Allah dan mempertanggungjawabkan apa yang kita sampaikan, maka selayaknya kita terus berhati-hati: ittaqillah..

Berkaitan dengan konsep CBT, Al-Balkhi menekankan pentingnya penanaman kognitif berbasis keimanan, di mana kita ketahui, konsepsi Islam menekankan tentang kefanaan dunia ini dan pentingnya keimanan kepada Allah. Al-Balkhi berulangkali mengingatkan bahwa kecemasan menjadi pengingat bagi manusia, bahwa dunia ini bukanlah tempat di mana semua kesenangan dan keinginan dapat terpenuhi secara sempurna (Badri, 2013). Ingin bahagia, bebas, merdeka, jalan2 ke mana saja tanpa stress.. maka untuk mendapatkannya tak perlu punya anak. Kalau kita ingat kembali bahwa nggak ada kesenangan yang sempurna di dunia, tak perlu membenturkan atau membatasi hal-hal seperti itu.

mungkin hikmahnya ketika mbak-mbak tersebut terus muncul dan ga bosen viral, adalah, tentang pemaknaan kita tentang kebenaran. kita bisa jadi yakin tentang sebuah kebenaran, ketika ada paparan distorsi yang membuat kita gamang, atau bertahan. mungkin itu cara mbaknya bertahan, semoga posisi pertahanan mbaknya bisa berbalik. bertahan dalam kebenaran yang hakiki.

Dan sebaik-baik pertahanan, katanya, adalah dengan terus menyerang. the best defense is a good offense.

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai 4 hal: (1) umurnya, untuk apakah ia habiskan, (2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan, (4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan” (HR Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi)

Wallahu a’lam bish-shawab.

8 Feb, 2023 — menuju thesis defense AAAMIIN paling serius XD

Mengeja Cinta

Mengeja Cinta

Barangkali mengeja cinta itu, seperti kita bersepeda di atas jalanan yang tak selalu mulus.

Kita dituntut untuk terus menyeimbangkan diri dengan mengelola pegangan dan terus mengayuh. Ketika kaget dengan batu sandungan dan tidak otomatis menyeimbangkan diri, maka kita akan terjatuh. Ketika terjatuh dan hanya merutuki diri, ya kita nggak akan sampai-sampai.

Mungkin itu yang dilakukan oleh lelaki itu. Sudah tidak terhitung batu, sandungan kecil maupun besar, yang membuatnya jatuh atau diam tak berkutik. Tapi ia memilih untuk terus bergerak. Berikhtiar apa yang bisa ia lakukan. Dengan begitu senyumnya tetap terbit. Menghangatkan Aslan dan kakaknya.

Saya yang awalnya kemrusung ketika mendapati ada pertanyaan terkait dirinya–lebih tepatnya semacam ketidakpercayaan, akhirnya memilih untuk tetap bergerak. Mengikuti keteladanan yang ia contohkan.

Di situlah kemudian saya mendapati energi baru, dari keinginan berbagi, dari otak yang berfikir, dari prasangka baik terhadap setiap kejadian.

Seperti kayuhan sepeda yang terus kita lakukan, begitu pula proses kita mengeja cinta-Nya. Ketika jalanan menurun kita berhati-hati agar tidak tergelincir, ketika jalan menanjak segenap upaya dikerahkan, ketika jalan mendatar kita bisa lebih menikmati semilir angin. Semuanya mendidik kita menjadi pribadi yang lebih baik, semoga.

Kembali Tentang Menulis

Kembali Tentang Menulis

“menengok kembali betapa kerasnya saya berusaha menemukan alasan, pembenaran, untuk tidak menulis, saya sedikit yakin bahwa menulis boleh jadi memiliki kedudukan sejajar dengan perbuatan-perbuatan baik yang lain, atau bahkan dengan ibadah–jika pakai terma agama. itulah kenapa–katakanlah seperti salat tepat waktu, puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, bersedekah, membayar zakat, dll, menulis selalu menghadapi godaan begitu ia hendak ditunaikan. selalu ada setan untuk setiap langkah menuju menulis. Jika bukan sejenis iblis durhaka yang mengajak orang-orang beriman kepada dosa, pastilah setan itu berbentuk manusia, yang wajah dan cara berpikirnya serupa penulisnya.
(Mahfud Ikhwan, Melihat Pengarang Tidak Bekerja)

Kembali ke awal tahun baru masehi, dan di tahun ini, tidak seperti sebelum-sebelumnya, saya entah kenapa tidak merasa bersemangat mengikuti program 30HariBercerita yang ramai di instagram. Rasa-rasanya seperti hopeless, “udahlah, kayaknya nggak bakal rutin juga,” atau kalau pakai alasan lain, “tulisan itu, seperti makanan, akan semakin bagus dan spesial kalau tidak dilakukan tiap hari” xD

tapi kalau dipikir-pikir, sebetulnya banyak yang hendak dituliskan sebaai bagian dari mengumpulkan hikmah yang Allah berikan dari tiap harinya. kesibukan yang saling melaju antara satu dengan yang lain: mqlc depok, pembangunan mqlc bojong, konsisten setoran muroja’ah, persiapan nikah adik yang super argobromo, amanah di kampus, dan berusaha keras memberi ruang untuk amanah akademis yang tersisa satu semester lagi.

dan tentu amanah yang inheren, sering tidak disebutkan, tidak disadari, tetapi sesungguhnya termasuk yang paling besar meminta pertanggungjawaban, sebagai istri dan ibu. mendampingi azima liburan dan aslan yang semakin membutuhkan perhatian keimanan dan psikis.

‘ala kulii hal, di jeda antara kegiatan tersebut yang seringkali tercuri dengan kegiatan bertajuk rehat, saya memutuskan mengambil sebuah buku tipis. dibeli sekira dua tahun lalu, dan di antara halamannya tertulis paragraf demikian. masya Allah makjleb.

hayulah, kembali menulis. setidaknya dengan menyadari bahwa ini adalah perifer (?) yang menjembatani semua aktivitas kebaikanmu!

Waktu Sesaat

Waktu Sesaat

Beberapa hari lalu dalam kurun waktu dua hari berturut-turut saya berkunjung ke stakeholder sekolah azima. Yang pertama ke wali kelas Azima yang baru melahirkan, yang kedua ke orang tua murid yang baru kehilangan pasangannya (ayah dari murid).

Ketika berkunjung ke wali kelas, saya dan bunda2 lainnya cukup terkejut ketika mengetahui ternyata masih ada adik bungsu dari Bu Nida, wali kelas tersebut, yang masih duduk di kelas 3 SD. Namun yang lebih mengagetkan adalah ketika kami menyadari tahun kelahiran bu Nida adalah 98.. which means sama kayak adik bungsu saya. bayangan kami, bu Nida ini usianya nggak jauh beda sama kami..

kami–bunda-bunda di atas kepala tiga, tertawa dan menyadari, “ah, ternyata kami masih terjebak pada usia muda. berasanya masih usia 20an, haha..”

di hari selanjutnya, dengan rombongan yang berbeda, saya takziyah ke rumah anak yang ayahnya baru saja wafat. yang membuat saya terkejut adalah, ternyata almarhum ayahnya ini wafat ketika baruuu saja mengambil raport anaknya di sekolah pada hari Sabtu, dan diambil nyawanya ketika berjarak beberapa ratus meter dari rumah, di sisi istrinya tercinta. Ya Allah T.T

ketika kami berkunjung ke rumah duka, itu adalah pertama kalinya sang istri masuk kembali ke rumah tersebut setelah suaminya wafat. Ketika suaminya mengalami saat kritis (serangan jantung) dan kemudian meninggal di mobil, sang istri langsung membawanya ke RS dan menjadikan rumah mertua (orang tua dari suami) sebagai rumah duka. beliau berterimakasih sekali kepada kami yang mengunjunginya di pagi itu, karena beliau jadi ditemani masuk ke rumahnya. kalau tidak, mungkin akan menangis sendirian.

“Bunda rencananya nanti akan tinggal di sini atau ke rumah kakeknya R (anaknya)?” tanya saya

“Di sini aja bun. Ini rumah yang dibeli dengan jerih payah suami saya untuk kami, keluarganya. Saya ingin menghormati (pemberian) suami ini, bun”, ucapnya tegar.

Saya yang mendengarnya rasanya ingin nangis.. tapi melihat ibunya kuat ga meneteskan air mata, saya jadi tahan-tahan supaya ikutan kuat.

terlepas dari hak waris yang memang selayaknya dibagi ke anak, saya terenyuh dengan cintanya sang istri hingga tataran menghormati pemberian suami tersebut.

apakabar saya yang masih blangbentong begini? Kita ga pernah tahu kapan waktu terakhir Allah kasih waktu dengan pasangan, dan apakah suami ridha terhadap kita? Byebye pejuang kesetaraaan hubungan dan relasi pasangan, bagaimanapun hidup berkeluarga—lebih tepatnya berpasangan yang Allah gariskan ini, menitahkan suami sebagai qawwam dan bakti istri pada sang qawwam.

Karena waktu hidup di dunia hanya sebentar. Tau-tau sudah kepala tiga, tau-tau anak sudah besar, tau-tau wajah sudah makin keriput, itupun kalau Allah kasih umur panjang. Apa yang mau kita pertanggungjawabkan di hari akhir kalau semata-mata hanya mengikuti hawa nafsu?

Sine Qua Non

Sine Qua Non

Seorang konselor pernikahan pernah memaparkan bahwa lazimnya, dalam sebuah kasus KDRT, sebuah kekerasan tidak serta merta terjadi. Ia bukan merupakan kasus tunggal yang terjadi karena kesalahan satu pihak saja, tetapi bisa jadi merupakan reaksi dari sebuah aksi pemicu. Contohnya seorang suami yang memukul istrinya, setelah diselidiki, hal tersebut dipicu karena istri yang mengeluh dan mengkritik pekerjaan suami sebagai supir ojol. Harga diri suami yang terusik membuatnya mengeluarkan defence mechanism dan berujung pada kekerasan fisik.

“Iya, dalam suatu KDRT, biasanya ada porsi kedua belah pihak, tapi berapa persennya itu yang beda-beda” suatu ketika Ibu saya menambahkan.

“Tapi mungkin aja kan ya, bu, misalnya ada kasus, istrinya udah shalihaah banget, nggak macem-macem, taat, tapi suaminya tiba-tiba aja gitu KDRT?” tanya saya. Kemudian saya menjawab sendiri, lah iya, Asiah istri Fir’aun aja contohnya. Levelnya di atas KDRT bahkan.

“Bisa. Dari situ Allah pengen ngasih kita banyak pelajaran.. di antaranya, untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan. Dan kalau diperhatikan, kemampuan kita untuk berbuat baik itu sendiri kan Allah yang ngasih. Kita masih bisa bedain keburukan dan kejahatan, itu kan pemberian dari Allah juga.”

—–

Saya merenung. Peristiwa di sekitar kita seringkali hanya dimaknai sebagai sebuah akibat dari adanya sebab. Lulus ujian karena belajar. Berhasil karena banyak jaringan, cermat dalam bisnis, dsb. Atau sebaliknya, tidak lulus ujian karena tidak belajar. Gagal dalam bisnis karena ketidakmampuan meminimalisir resiko. Melakoni pernikahan dengan sumbu pendek karena kesalahan pola asuh di masa kecil, dsb..

Padahal Allah yang mengatur skenario dan jalannya hidup ini yang punya kuasa menciptakan suatu kejadian tanpa perlu adanya penyebab. Bahkan, jangan-jangan, peristiwa tersebutlah yang akan menjadi suatu sebab akan lahirnya akibat-akibat positif di masa mendatang. Tidak lulus di fakultas kedokteran, masuk ke fakultas hukum dan menjadi pembela bagi dokter yang tersangkut kasus hukum, misalnya.

(anw, saya jadi inget Mircle in Cell no. 7, setelah lihat beberapa kali dalam rentang waktu 10 thn terakhir, saya jadi bisa melihat sisi lain: jika ayahnya tidak ditimpa musibah dengan tuduhan hingga masuk penjara dan kehilangan nyawa, anaknya belum tentu akan menjadi pengacara kaum lemah di masa mendatang.)

Dalam kasus berkonflik di rumah tangga, jika kedua pihak sama-sama ingin memperbaiki diri, maka kelak akan melahirkan pasangan yang semakin terbuka dan kuat bondingnya. Jika kasusnya sudah parah hingga menzhalimi fisik, jika pihak yang terzhalimi memutuskan “usai”, barangkali ia menjadi sosok yang lebih asertif dan berani membela pihak yang lemah, dan barangkali lebih lihai dalam menjalin hubungan.

Dan yang lebih indah adalah, peristiwa tidak menyenangkan tersebut menjadi sebab jalan terbukanya diri kita semakin dekat dengan Allah, sarana naik kelas, sarana penyadaran bahwa dunia ini.. benar-benar fana. Dan sumber ketenangan tak lain hanya menggantungkan diri semata-mata kepada Allah.

Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. (8) Dan berkatalah isteri Fir’aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka tiada menyadari.

(QS. Al-Qashash: 8-9)

Seperti kisah ditemukannya Musa as ketika bayi, ada dua tujuan dalam satu peristiwa: Allah berkehendak menjadikannya musuh dan kesedihan bagi Fir’aun dan pengikutnya, sedangkan Asiah berkehendak ia ingin menjadikannya sebagai penyejuk mata. Dua kehendak dan rencana, rencana Allahlah yang terjadi.

Di situ saya jadi paham, ah, iya ini maksudnya: bisa jadi suatuh hal tampak buruk bagimu, tapi tersimpan kebaikan di dalamnya, atau sebaliknya. bisa jadi ia baik untukmu, tapi tersimpan keburukan di dalamnya.

Wallahu ya’lamu wa antum la ta’lamun..

——–

“Kak, kalau dulu Ifah nggak masuk Fakultas Hukum, kita nggak ketemu kali ya,” suatu saat saya melontarkan lintasan pikiran sepulang dari kampus. Melihat mahasiswa-mahasisiwi di Bikun membuat saya teringat masa-masa itu.

“Bisa aja tetep ketemu. Dengan cara lain. Kalau emang jodoh, kan” suami saya menjawab lugas.

Saya tertawa. Iya juga ya.. Tidak perlu sebab jika Allah sudah berkehendak.

Rubber Set

Rubber Set

Dalam tanding olahraga 17-an antar RT akhir pekan kemarin, RT saya termasuk yang mendominasi di salah satu pertandingan, yakni bola voli.

Hingga sampai di babak final pada Ahad lalu, baik voli putra maupun putri. Sayangnya, di babak final kelompok voli putra, kami kalah tipis di rubber set.

“Mbak Ifah, tadi ayahnya Azima ke mana pagi-pagi? Kok ga ikutan tanding voli? Kita tadi kalah tipiss lhoo.” seorang ibu-ibu menghampiri saya. Sore itu saya dan anak2 ikut menyaksikan pertandingan voli putri yang tak kalah seru.

“Iya bu, mohon maaff banget, td pagi Ayahnya nggak bisa ikut karena harus ke luar kota. Tadi juga sy kondangan sm anak-anak aja.”

“Ooh, pantesan. Iya, tadi kita kekurangan orang karena harus berturut-turut tanding. Mana panass banget lagi cuacanya.”

Babak penyisihan yang berlangsung dalam kurun waktu dua hari memang menuntut strategi tim yang apik, agar stamina terjaga. Kak Jay ikut di babak penyisihan voli di hari Sabtu pagi, kemudian malamnya tanding badminton, pagi-pagi harus bersiap berangkat lagi ke luar kota untuk menyelesaikan urusan kantor.

“Coba tadi skornya cuma sampai 15 ya, kita bisa menang tuh,” seorang ibu-ibu lainnya menyahut di sebelah kanan saya. Pertandingan voli putri berlangsung lebih cepat karena skor tiap set hanya 21, dan rubber set 15. Sedangkan voli putra tiap setnya 25, sedangkan rubbet set 21.

“Oh, gitu ya bu?”

“Iya, tadi kita mulai kebalap pas udah di rubber set, setelah skor 15, bapak-bapak udah pada kecapekan.”

Saya mengangguk-angguk.

Rubber set, adalah set penentu dalam tanding olahraga yang dilakukan ketika skor di dua set sebelumnya adalah seri. Pemenang rubber set menjadi juara di babak tersebut.

Saya tercenung. Jika kehidupan ini seperti tiap babak yang harus dilewati, maka ada momen di mana rasanya kita sudah meraih segalanya, sorak sorai membahana, lampu sorot membuat kita serasa istimewa. Kebahagiaan menghampiri setelah jerih payah dilewati.

Namun jika timeline diperpanjang, bisa jadi ada pula momen di mana kita terjatuh, terpuruk. Gelap. Rasanya berat. Setelahnya timeline diperpanjang kembali, kita bangkit kembali, dengan jiwa yang lebih kuat. Berprasangka baik, barangkali ada jenak kebahagiaan yang kembali menanti.

Rubber set dalam timeline hidup kita adalah misteri, dan entah menghampiri di fase yang mana. Kita bertanding setiap hari dengan rasa kemalasan, kekhawatiran, kesulitan, namun juga diiringi keinginan serta harapan untuk menang dan meraih kebahagiaan. Dibutuhkan nafas panjang dan kawan seperjuangan yang mengingatkan, serta doa-semangat dari penonton yang duduk di bangku luar. Agar ketika rubber set itu hadir, kita berujung husnul khatimah.

Syukurnya, ada kabar indah dari baginda Nabi saw: senang dan susahnya mu’min berujung kebaikan.

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Syakilah

Syakilah

Notulensi kajian tafsir ustadz Abdul Aziz Abdul Rauf, Lc.

[QS. Al-Isra: 83]

وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَىٰ بِجَانِبِهِ ۖوَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا ‎﴿٨٣﴾

“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.”

Ada manusia-manusia yang baru taat ketika diberi keluasan rezeki. ada yang taat ketika dalam kesempitan. yang terbaik adalah yang fleksibel, bagaimanapun kondisinya tetap taat kepada Allah.

Oleh karena itu, ada doa yang diajarkan oleh Rasulullah agar kita tetap taat dalam keadaan takdir apapun yang Allah tetapkan

prinsip dalam memahami ujian menurut Ibnu Qayyim: ujian dalam kehidupan bukanlah tentang kekuatan dirimu, tapi seberapa dekat kita dengan Allah.

[QS. Al-Isra: 84]

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا 

“Katakanlah (Muhammad), ‘setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.’ Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”

Ada karakter bawaan yang Allah berikan bagi setiap manusia. Interaksi kita al-Qur’an memberikan pembobotan terhadap karakter tersebut. ada yang dari kecil hobi elektronik, ngutak-atik peralatan listrik. itu syakilahnya. dengan Al-Qur’an, syakilah tersebut menjadi kemanfaatan bagi orang lain. bagi pemilik rumah misalnya, memperbaiki listrik itu sulit, tapi bagi yang syakilahnya tinggi, maka itu mudah.

awalnya hanya hobi elektronik, tapi di sisi Allah menjadi amal yang berbobot besar.

syakilah apa saja yang ada dalam dirimu, jadikan ia sebagai jalan hidayah (baik bagi diri sendiri maupun orang lain).

“rabbukum a’lamu biman hua ahdaa sabila.”

Kisah tentang Ali yang mahir pedang. begitu pula Umar, syakilah tinggi dalam bertarung.. syakilahnya menjadi jalan hidayah, ketika orang lain masuk Islam sembunyi-sembunyi, dia berani terang-terangan. Sedangkan Abu Bakar, syakilahnya lembut. Rasulullah mengatakan Abu Bakar mirip Ibrahim as dan Isa as, sedangkan Umar mirip Musa as dan Nuh as.

Tidak ada syakilah yang perlu disesalkan. Ada orang pendiam, bisa jadi syakilahnya dia. Cari jalan hidayahnya. Bisa digunakan untuk membaca Qur’an, dzikir, digunakan untuk mempersedikit ucapan yang menyakiti orang.

Begitu pula dalam kehidupan suami istri, jadikan syakilahnya masing2 sebagai potensi kebaikan. kalau syakilahnya tipe orang yang ramai, orangnya supel dan mudah bergaul, (lakukan untuk kebaikan). jangan digunakan untuk mencela orang.

syakilah itu tidak bisa diubah, tapi bisa dibuat lebih berbobot.

Q: Kapan kita tahu harus mempertahankan syakilah, dan kapan harus mengubahnya? Seperti Abu Bakar yang lembut, tapi kemudian beliau keras terhadap orang yang murtad?

Ustadz Aziz: aslinya, setiap orang diwajibkan untuk belajar, komunitas untuk menuntut ilmu, sehingga ketika ada perbedaan karakter, orang bisa memaklumi.

Apa yang Abu bakar lakukan ketika beliau keras, bukan (perubahan) karakter. Umar juga begitu, ketika ia mengingatkan istrinya untuk shalat di rumah saja, kemudian istrinya menolak karena Rasulullah pun membolehkan perempuan ke masjid, ia menjadi lembut dengan istrinya. Atau sikap Umar kepada ibu-ibu yang protes kepadanya ketika ia khutbah. Itu bukan mengubah karakter, tapi mengalah terhadap karakter aslinya.

Ketika ada orang murtad, kalau Abu Bakar mau mengalah dengan karakter aslinya, membiarkan, maka dia bisa jadi bermaksiat kepada Allah. Tapi beliau memilih untuk angkat senjata. Kapan seseorang harus keluar dari zona karakter aslinya? Ketika imannya menuntut untuk amar ma’ruf dan nahi munkar.

Ketika ada tabrakan antara karakter dan hukum Allah, di situlah dia harus keluar dari karakter aslinya.

Perempuan: Antara Agama dan Budaya

Perempuan: Antara Agama dan Budaya

Jika ditinjau dari visi teologis Islam, terdapat konsep sentral bernama tauhid yang menekankan bahwa Tuhan adalah pusat dari dari segala sesuatu di alam semesta dan seluruh makhluk termasuk manusia harus mengabdikan diri pada-Nya. Dengan kata lain, implikasi dari doktrin ini adalah bahwa tujuan hidup manusia tak lain adalah menyembah kepada-Nya, atau disebut pula dengan konsep teosentris. Menariknya, sistem tauhid dalam Islam mempunyai arus balik kepada manusia, di mana semakin beriman seseorang, maka selayaknya semakin banyak pula amal yang dilakukan tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Iman harus diaktualisasikan menjadi amal. Sebagai contoh, pusat dari perintah zakat adalah keimanan, namun efek dari perintah zakat adalah terciptanya kesejahteraaan sosial. Dengan demikian, konsep teosentrisme dalam Islam ternyata bersifat humanistik.

Perintah untuk menyembah Allah sebagai Tuhan pada akhirnya berujung untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri (Kuntowijoyo, 1991). 

            Humanisme-teosentrisme ini kemudian melahirkan niIai dan simbol kebudayaan yang menjadi ciri khas dari Islam sebagai sebuah sistem (diin). Kuntowijoyo (1991) mengungkapkan bahwa hakikat dari adanya perintah amar ma’ruf nahi munkar tidak lain adalah emansipasi dan pembebasan. Amar ma’ruf atau perintah untuk menyeru kepada kebijakan menyiratkan adanya emansipasi bagi seluruh manusia untuk bergerak menuju kepada nur (cahaya) Tuhan agar kembali kepada fithrah. Dengan kembali kepada fithrah, manusia berada pada kedudukan mulia sebagaimana ia awal mula diciptakan. Namun, situasi tersebut harus diiringi dengan adanya nahi munkar yang merupakan bentuk pembebasan. Nahi munkar atau mencegah kemungkaran berarti membebaskan manusia dari segala bentuk kegelapan (zhulumat) dalam berbagai bentuk perwujudannya. Dalam skup ilmu sosial, segala bentuk nahi munkar selayaknya meliputi pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. 

Dalam konteks isu mengenai perempuan, nafas mengenai emansipasi dan pembebasan yang terkandung dalam amar ma’ruf nahi munkar ini juga tampak dari ajaran Islam. Bagaimana Islam menekankan bahwa setiap laki-laki dan perempuan yang muslim dan mu’min, yang bersabar, yang berpuasa, yang memelihara kehormatannya, masing-masing memiliki peluang untuk mendapatkan pahala dan ampunan yang besar dari Allah (Qs. 33: 35). Konsep kemitraan antara laki-laki dan perempuan dalam amar ma’ruf nahi munkar juga tampak dari arahan yang terdapat dalam al-Qur’an, bahwa orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan yang menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran, sebagiannya menjadi penolong bagi sebagian yang lain dan memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan rahmat dari-Nya. (QS. 9: 73). 

            Penggunaan hijab bagi perempuan juga mengandung nilai emansipasi dan pembebasan di mana dengan menggunakaan hijab, selain sebagai penanda perbedaan gender, memungkinan seorang perempuan untuk tetap eksis tanpa khawatir dipandang sebagai objek keinginan atau tatapan seksual lelaki (Nadwi, 2022). Penggunaan hijab mengandung emansipasi, karena tidak ada dalil atau bukti sejarah yang menyatakan bahwa hijab menghalangi seorang perempuan untuk mengajar laki-laki atau belajar dari laki-laki. (Nadwi, 2022). Dengan hijab seorang muslimah tetap diperbolehkan menuntut ilmu dan mengaktualisasikan dirinya, yang dengan hal tersebut terputuslah rantai kebodohan dan kemiskinan yang membelenggu.  

            Namun, sejarah mengungkap bahwa proses dialektika dengan budaya pra-Islam di Indonesia menjadikan penerapan nilai-nilai Islam tersebut tidak sepenuhnya tersusblimasi di tengah masyarakat. Indonesia pernah mengalami apa yang dinamakan dengan dualisme kebudayaan, yakni budaya keraton dan budaya populer. Budaya tradisional tersebut meninggalkan sinkretisme yang masih eksis hingga saat ini. Dalam hal keraton, penulis mengangkat budaya Jawa yang kental dengan fedoalisme dan patriarkisme. Dalam hal ini, Kuntowijoyo (1991) menyimpulkan bahwa penerimaan budaya tersebut terhadap budaya Islam bersifat defensif: ia menerima pengaruh tertentu dari Islam selama pengaruh tersebut dapat diadopsi dan sesuai dengan status quo budaya Jawa. 

Perjalanan panjang emansipasi dan pembebasan terhadap umat manusia, termasuk di dalamnya terhadap kaum perempuan di Indonesia adalah proses dari hulu ke hilir yang memakan waktu tidak sebentar. Menuntut perbaikan dan kebebasan ekstrem di satu aspek saja tanpa memperhatikan sistem sosial dan ekonomi yang masih rapuh di tengah masyarakat hanya akan membuka keran masalah baru di saat keran masalah lain belum ditutup. Tak lupa, satu aspek yang mengikat nafas emansipasi dan pembebasan adalah adanya tali bernama tazkiyah,  yakni usaha rasional manusia untuk senantiasa membersihkan jiwadan menghubungkan diri kepada Dzat Yang Mahaesa. Dengan tazkiyah, manusia menjadi merdeka tidak semata hawa nafsu, tapi berujung pada kedudukan yang lebih mulia di hadapan-Nya. 

Selengkapnya di: https://www.kompasiana.com/scientiafifah/627b09f9d7e37327796eb192/stereotype-gender-agama-atau-budaya